Simak 5 Ketentuan Invoice Financing Syariah

Simak 5 Ketentuan Invoice Financing Syariah

Mungkin banyak yang belum paham tentang konsep pembiayaan Invoice Financing Syariah atau biasa disebut Anjak Piutang Syariah. Baca terus artikelnya untuk kupas tuntas produk andalan di ALAMI ini!

Definisi Invoice Financing

Invoice financing adalah salah satu jenis pembiayaan yang bisa dimanfaatkan oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang telah mempunyai tagihan yang belum terbayar dari pemberi kerja (bouwheer) mereka. Tagihan yang belum terbayar ini diestimasikan akan dibayarkan dalam jangka waktu biasanya 1-6 bulan.

Namun, selama mereka menunggu, biasanya UKM juga membutuhkan dananya sekarang untuk kelancaran arus kas mereka. Nah, untuk tujuan tersebutlah UKM bisa mengajukan pembiayaan Invoice Financing.

Jumlah pembiayaan yang diajukan beragam, namun di ALAMI sendiri, invoice yang bisa diajukan untuk pembiayaan harus bernilai antara Rp50 juta sampai Rp2 miliar. ALAMI berkomitmen untuk memberikan pembiayaan sampai maksimal 80% dari nilai invoice untuk UKM yang telah lolos seleksi menjadi penerima pembiayaan. Tentunya, tidak semua UKM mendapatkan pembiayaan sampai batas maksimal, karena perlu ditimbang juga risikonya.

Konsep Invoice Financing Konvensional

Merujuk kepada Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dengan Fatwa DSN MUI No. 67/DSN-MUI/III/2008 tentang Anjak Piutang Syariah, konsep produk ini sebelumnya sudah dikenal dalam perbankan konvensional dengan sebutan factoring. Anjak piutang seringkali disebut sebagai “jual beli piutang dagang jangka pendek.”

Praktiknya sendiri, disebutkan dalam Fatwa tersebut, tidak sesuai dengan prinsip syariah karena alasan sebagai berikut:

  1. Memperjualbelikan barang yang tidak dapat diserahterimakan
  2. Mengandung riba karena adanya bunga yang berlaku
  3. Mengandung gharar (ketidakjelasan)

Konsep Invoice Financing Syariah

Sebagai alternatifnya, DSN MUI telah menyiapkan skema invoice financing yang sesuai dengan prinsip syariah. Apa yang membedakannya? Artikel ini akan membahas 5 poin diantaranya.

Definisi

Invoice Financing syariah didefinisikan sebagai pengalihan penyelesaian piutang atau tagihan jangka pendek dari pihak yang berpiutang kepada pihak lain yang kemudian menagih piutang tersebut kepada pihak yang berutang.

Pihak yang berpiutang (UKM) mewakilkan kepada pihak lain (pendana) untuk melakukan penagihan piutang kepada pihak yang berutang, dan pihak yang ditunjuk menjadi wakil dapat melakukan penagihan piutang pada pihak yang berutang.

Imbal Jasa Untuk Perwakilan

Dalam skema invoice financing syariah, atas jasanya melakukan penagihan piutang tersebut, maka pihak yang ditunjuk sebagai wakil bisa mendapatkan ujrah (fee), atau imbal jasa.

Muamalat tipe ini ini disebut dengan wakalah bil ujrah. DSN MUI mengambil dari sunnah Rasulullah SAW, yang dalam Sirahnya disebutkan bahwa beliau melakukan kegiatan perwakilan ini dalam hal transaksi perdagangan, dan juga menetapkan ujrah.

Pembiayaan Dikenakan Akad Qardh (talangan) dan Tidak Dikenakan Bunga

Pihak yang ditunjuk sebagai wakil juga bisa memberikan dana talangan atau qardh kepada pihak yang berpiutang sebesar maksimal jumlah piutang yang diwakilkan.

Pembayaran ujrah atau imbal jasa dapat diambil dari dana talangan (keterangan tentang dana talangan di poin no. 3).

Namun, tidak diperkenankan untuk menerapkan bunga dari jumlah dana talangan kepada pihak yang berpiutang. Jenis akad ini adalah tabarru’ (transaksi dalam rangka kebaikan), bukan tijarah (transaksi dalam rangka perdagangan), sehingga tidak boleh menetapkan margin.

Dalam fatwanya tentang invoice financing syariah, DSN MUI menegaskan bahwa kedua akad tersebut (wakalah bil ujrah dan qardh), tidak boleh ada keterkaitan sama sekali.

Perhitungan Imbal Jasa Disebutkan Jumlah Nominalnya

Untuk menghindari adanya prinsip ketidakjelasan atau gharar, maka DSN MUI mewajibkan semua transaksi antara Pendana dan Penerima Pembiayaan, atau UKM dan wakil penagihan piutangnya, diketahui jelas estimasi imbal hasilnya. Pada saat kesepakatan akad invoice financing syariah, Pendana berhak tahu atas estimasi imbal hasilnya dalam bentuk jumlah nominal (misal Rp300.000) dan tidak boleh dinyatakan dalam bentuk persentase.

Perselisihan Diselesaikan di Pengadilan Agama atau Badan Arbitrase Syariah

Dalam hal terjadi sengketa, gagal bayar atau satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, dan tidak berhasil diselesaikan dengan musyawarah, maka DSN MUI mengatur hal tersebut bisa diselesaikan khusus melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional, yang merupakan salah satu perangkat Majelis Ulama Indonesia, atau melalui Pengadilan Agama. Sementara, untuk sengketa bisnis lainnya, biasanya diselesaikan melalui Pengadilan Negeri.

Jadi, untuk sengketa dalam produk keuangan syariah, perlu diselesaikan juga dengan hukum Islam, yaitu terutama dengan mengedepankan usaha-usaha perdamaian dan mengedepankan perilaku adil (tanpa merugikan pihak manapun).

Masih penasaran soal Anjak Piutang Syariah ini?

Kamu bisa baca Fatwa selengkapnya disini.

Yuk, lakukan pendanaan untuk UKM dengan prinsip syariah dan didukung proses yang nyaman, aman, dan efisien dengan teknologi. Platform peer-to-peer financing syariah ALAMI mempertemukan UKM dengan pemberi pembiayaan. Teknologi kami menganalisa ratusan data untuk menghasilkan pembiayaan yang memiliki kualitas dan kredibilitas yang baik. Daftar sekarang untuk menjadi pendana ALAMI dan nikmati kemudahan proses pembiayaan syariah yang lebih efisien, akurat dan transparan.

Artikel Terbaru

Informasi Peningkatan Keamanan Pendanaan & Penambahan Biaya Layanan

Sebagai bagian dari upaya kami dalam meningkatkan kualitas layanan yang lebih baik,...

Panduan Praktis Mendanai Nyaman dan Menguntungkan di Instrumen P2P Lending Bagi Pendana Pemula

Peer to Peer Lending (P2P Lending) dikenal sebagai salah satu instrumen investasi...

Sejarah Dana Pensiun di Indonesia

Sejarah dana pensiun di Indonesia melalui proses yang panjang dan senantiasa berkembang. ...

Exit mobile version