TKB Total adalah nilai keberhasilan penyelesaian kewajiban pembiayaan dalam jangka waktu sampai dengan 90 hari sejak jatuh tempo dibandingkan dengan total nilai penyaluran pembiayaan yang berhasil disalurkan.
TKB90
TKB90 adalah ukuran tingkat keberhasilan Penyelenggara dalam memfasilitasi penyelesaian kewajiban Pendanaan dalam jangka waktu sampai dengan 90 (sembilan puluh) hari kalender terhitung sejak jatuh tempo.
TKB60
TKB60 adalah ukuran tingkat keberhasilan Penyelenggara dalam memfasilitasi penyelesaian kewajiban Pendanaan dalam jangka waktu sampai dengan 60 (enam puluh) hari kalender terhitung sejak jatuh tempo
TKB30
TKB30 adalah ukuran tingkat keberhasilan Penyelenggara dalam memfasilitasi penyelesaian kewajiban Pendanaan dalam jangka waktu sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak jatuh tempo
TKB0
TKB0 adalah ukuran tingkat keberhasilan Penyelenggara dalam memfasilitasi penyelesaian kewajiban Pendanaan dalam jangka waktu sampai dengan 0 (nol) hari kalender terhitung sejak jatuh tempo
Serial Love & Money: Simak 6 Jurus Pengaturan Keuangan Rumah Tangga dari Pasangan Muda & Baru Menikah
18/06/2020 - 5 Min Read
Serial Love & Money: Simak 6 Jurus Pengaturan Keuangan Rumah Tangga dari Pasangan Muda & Baru Menikah
Welcome to Love & Money! Di serial blog ini, ALAMI ngobrol dengan pasangan suami istri yang bersedia menceritakan bagaimana mereka mengelola keuangan keluarganya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, kebiasaan buruk apa yang akhirnya harus diubah ketika mereka #HijrahFinansial, dan bagaimana mereka memaknai pengaturan keuangan rumah tangga.
Di artikel pertama serial ini, kamu bisa simak cerita dari GhufranRahmatPutra, 25 tahun, yang bekerja sebagai ALAMI Data Architect, dan istrinya, AfifahMakhirliana, yang juga berusia 25 tahun. Mereka menikah sejak tahun 2018 dan saat ini sudah dikarunia seorang buah hati yang berusia 15 bulan, Muhammad Al Fatih Ibrahim.
Menyadari Pentingnya Pengaturan Keuangan Rumah Tangga
Sebelum menikah, Ghufran dan Afifah tidak pernah secara khusus menerapkan prinsip pengaturan keuangan tertentu. Selain pengeluaran sering bocor, Ghufran juga tidak menetapkan tujuan keuangan tertentu dan hanya menargetkan untuk tabungan menikah. Sementara Afifah, ketika menjadi mahasiswi, walaupun nggak hobi jajan konsumtif, tapi sering tidak perhatian dengan pengeluaran yang akan muncul di masa depan. Misalnya, untuk biaya-biaya tambahan kuliah sering tidak disiapkan sebelumnya.
Ketika akhirnya memutuskan berniat menikah, Ghufran dan Afifah bertemu lewat proses taaruf yang dikawal oleh guru mengaji masing-masing, termasuk bertukar CV data pribadi dan tahap nadzhar (pertemuan tatap muka langsung). Masalah pengaturan keuangan juga sudah dibahas di dalam proses taaruf ini. Walaupun belum sampai mendetail, Ghufran dan Afifah sudah bertukar informasi tentang seperti apa pola pengaturan keuangan yang akan dijalani, misalnya tentang bagaimana mereka mengelola pendapatan, berapa besar pendapatan, dari mana saja sumber pendapatannya, apakah pengaturan keuangan akan dijalankan berdua, apakah istri boleh bekerja, dan sebagainya.
Dari sebelum menikah, Ghufran dan Afifah sudah bersepakat bahwa setelah menikah keuangan akan diatur bersama berdua. “Jadi bukan sistem setoran, yang suami hanya tinggal nyetor dan kemudian istri yang mengatur ya,” jelas Ghufran.
Mereka juga sudah sepakat bahwa istri akan ikut berkontribusi kepada pendapatan keluarga dengan bekerja. Meskipun begitu, sejak awal pernikahan istri sudah berkomitmen untuk bekerja dari rumah, yaitu dengan menjual busana Muslimah, sebagai mentor tahfidz, dan merintis usaha apotik (dengan latar belakang pendidikannya sebagai lulusan jurusan Apoteker dari Institut Teknologi Bandung).
Sebagai suami istri, mereka juga sepakat tentang pentingnya pengelolaan keuangan rumah tangga yang baik.
Afifah juga menambahkan, “Hal ini juga sangat penting untuk perempuan. Karena, jika gagal mengelola keuangan, kita sendiri yang akan menanggung akibatnya. Padahal itu tugas saya juga sebagai istri untuk membantu suami mengelola keuangan keluarga.”
Implementasi prinsip ‘qawwam’ dalam Qur’an untuk pengaturan keuangan keluarga
Di Al-Qur’an QS. An-Nisaa ayat 34, disebutkan bahwa kaum lelaki adalah qawwam dari kaum perempuan karena mereka telah menafkahkan sebagian hartanya. Bagaimana Ghufran memaknai ayat ini di dalam pernikahannya?
Menurutnya, kaum lelaki harus mampu menjadi sandaran bagi kaum perempuan yang ada di lingkungan keluarganya, tidak hanya untuk istrinya saja melainkan juga untuk ibu, kakak dan adik perempuan, bibi, dan sebagainya.
Selain itu, Ghufran juga menerapkan prinsip qawwam ini di dalam pengaturan keuangan keluarganya. Walaupun menggunakan sistem dualincome, yaitu menggabungkan seluruh pendapatan keluarga untuk pengeluaran dan tidak hanya bergantung dari pendapatan Ghufran untuk pengeluaran, namun Ghufran mengatur agar niat istrinya bekerja bukan untuk mencari nafkah, melainkan untuk mengembangkan potensi, mengeksplorasi minat dan bakatnya, dan menebar manfaat. Disini, ia mengungkapkan bahwa tanggungjawab mencari nafkah tetap harus berada di tangan dirinya sebagai suami. “InsyaaAllah saya berusaha untuk sekuat tenaga menanggung semua kebutuhan finansial keluarga inti (istri dan anak) saya,” ujarnya menegaskan.
Cara lain ia mengimplementasikan konsep qawwam ini dalam rumah tangganya adalah dengan turut mengatur keuangan keluarga, tidak hanya diserahkan kepada istri dan hanya berkontribusi sebatas menyetor pendapatan.
“Istri mengatur pengeluaran operasional dan kebutuhan sehari-hari, sementara saya menyiapkan dan mengatur untuk pembelian aset, dana darurat, tabungan, dan investasi. Kemudian kita juga mengelola berdua untuk semua pos-pos keuangan. Jadi kita atur sedemikian rupa sehingga kita melakukan penurunan, dari kebutuhan setahun, kemudian di breakdown menjadi per bulan, per minggu, sampai per hari,” ujarnya menjelaskan.
Ghufran juga berkomitmen untuk terus memperbaiki diri dan memperdalam berbagai ilmu agama sehingga dapat menjadi imam yang baik dan memberikan pembinaan untuk keluarga intinya, yaitu istri dan anaknya.
Belajar dari Kesalahan
Sama seperti pasangan muda lainnya, Ghufran dan Afifah juga mengaku pernah melakukan kesalahan dalam pengaturan keuangan. Di awal pernikahan, Ghufran dan Afifah menyewa 2 tempat tinggal yang fullyfurnished, yaitu di Bandung dan Bekasi, karena Afifah yang masih harus kuliah di semester terakhir dan praktik kerja di Bandung. Kemudian mereka juga sering konsumtif dan pergi keluar ketika baru menikah di bulan-bulan pertama.
“Mungkin karena euforia pernikahan, waktu itu masih terasa banget hebohnya pacaran halal, jadi kami agak “norak”… Apalagi kami kan awalnya sempat longdistance karena istri masih menjadi mahasiswi ketika itu. Jadi kami selalu makan di luar untuk 3 kali sehari kalau lagi bareng, apalagi kalau lagi di Bandung kan banyak tempat-tempat cantik untuk nongki-nongki,” ceritanya.
Ghufran dan Afifah mulai sadar ketika tertimpa musibah kecelakaan mobil, yang menyebabkannya harus mengganti biaya kerusakan yang cukup besar. Bahkan, ia sampai harus berhutang untuk menutupi kerugian tersebut. Pada saat yang bersamaan, Afifah juga mulai mengandung dan membutuhkan lebih banyak biaya untuk merawat kehamilannya. Dengan kedua momen tersebut, mereka akhirnya menyadari tentang pentingnya melakukan pengaturan keuangan keluarga dengan baik.
Dari momen tersebut, akhirnya Ghufran merasa bahwa mereka harus mengevaluasi kebocoran-kebocoran keuangan yang terjadi, dan bersikap hidup lebih hemat, mulai dari soal listrik sampai soal makanan. Ia juga merasa bahwa ini cara Allah untuk menegur dirinya bahwa di dalam harta kita tidak bisa dihambur-hamburkan dan ada hak orang lain juga.
Ia memutuskan untuk menjual mobilnya dan memakai motor atau transportasi umum.
Setelah itu, ia dan Afifah merumuskan prinsip-prinsip baru dalam mengatur keuangan.
“Dari situlah, akhirnya menjadi titik balik kita untuk #HijrahFinansial dengan mengatur keuangan lebih baik lagi, yaitu dengan mendahulukan ZISWAF dan berbakti kepada orangtua, dengan jumlah yang lebih besar dari sebelumnya, memastikan bahwa kita hanya membeli yang perlu dan esensial saja, dan dalam jumlah yang memang akan habis terpakai dalam waktu tertentu, sehingga tidak mubazir. Selain itu, kami juga sejak saat itu juga sangat mengurangi frekuensi makan di luar dan lebih banyak masak sendiri daripada beli lauk,” cerita Ghufran.
Mendahulukan Kewajiban Agama
Pasangan suami istri ini menerapkan prioritas pengeluaran untuk “transaksi dengan Allah”. Yaitu, setiap bulannya mengalokasikan untuk zakat, infaq, sedekah, berbakti kepada orangtua, dan juga memberi hadiah kepada teman-teman dekat dan sanak saudara. Jumlahnya sendiri bisa beragam setiap bulannya, menyesuaikan dengan pendapatan per bulan. Namun, mereka menetapkan semua kebutuhan tersebut maksimal 30% dari pemasukan per bulan.
Setelah hal tersebut sudah ditunaikan, baru mengalokasikan untuk tabungan, investasi dan dana darurat. Pos selanjutnya adalah baru untuk operasional sehari-hari.
“Untuk persentase, kita tidak menentukan secara fixed secara bulannya, kita hanya menetapkan range. Jadi sesuai kondisi saat itu saja,” ujar pasangan ini.
Pengaturan Keuangan untuk Anak
“Di awal pernikahan, kalau untuk anak, sebenarnya kita tidak terlalu merencanakan, tetapi sudah dipikirkan dan memang sudah berharap segera dianugerahi keturunan,” ujar Afifah. Pengaturan keuangan untuk anak dimulai sejak Afifah mulai hamil. Pasangan suami istri ini mulai khusus menyisihkan untuk keperluan rumah sakit, fasilitas kesehatan, tambahan suplemen dan vitamin, biaya melahirkan, kebutuhan dasar dan perlengkapan anak sejak usia pernikahan mereka mencapai 5 bulan. Kini, di usia anaknya yang sudah mencapai 15 bulan, Ghufran dan Afifah fokus menyiapkan anggaran setiap bulannya untuk tumbuh kembang si buah hati, seperti misalnya makanan sehari-hari dan keperluan untuk ASI booster, dan tentunya juga untuk pendidikannya.
Mengatur Cicilan Tidak Boleh Lebih dari 30% Pendapatan Bulanan
Satu-satunya hutang yang dimiliki oleh keluarga Ghufran adalah kebutuhan tempat tinggal tetap dengan menggunakan skema pembayaran program KPR Syariah 20 tahun. “Mengingat kita juga keluarga baru yang masih banyak yang harus disiapkan, jadi kita ambil yang 20 tahun, yang paling aman untuk kita penuhi, dan juga mengingat nasihat dari para ahli keuangan bahwa cicilan dan hutang tidak boleh melebihi dari 30% pendapatan kita selama sebulan,” ujar Ghufran.
Nah itulah 6 prinsip pengaturan keuangan yang jadi andalan Ghufran dan Afifah. Adakah yang dilakukan sama kamu juga? Atau malah beda banget? Semoga bermanfaat dan menginspirasi, ya!
Punya pengalaman mengatur keuangan rumah tangga yang mungkin bisa bermanfaat untuk pembaca blog ALAMI? Yuk, hubungi kami dan kami akan mengontak kamu jika cerita kamu terpilih!
Berdasarkan terbitnya kebijakan pajak pada PMK 136/2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022 Tentang Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib...
Yay, kini ALAMI Android Mobile App sudah punya beberapa fitur terbaru! Fitur terbaru ini nantinya bisa memudahkan kamu dalam melakukan proses chip in, hingga mengetahui portofolio apa saja yang sudah...
Situs keuangan boleh mendefinisikan kemerdekaan finansial dari kacamata mereka, tapi apa arti kemerdekaan finansial seorang Muslim? Arti kemerdekaan finansial seorang Muslim yang sesungguhnya adalah ketika kita bisa melaksanakan semua kewajiban...
“Kebanyakan pasangan sebenarnya tidak butuh konselor pernikahan, tapi butuh penasihat keuangan,” begitu keyakinan dari David Bach, penulis lebih dari 10 buku keuangan (beberapa termasuk dalam New York Times Bestseller List)...
Bagaimana sikap istri ketika bisnis suami mengalami penurunan dan tabungan keluarga harus terkuras habis? Apa sebenarnya peranan seorang istri dalam mengatur keuangan keluarga? Prinsip apa saja yang membuat seorang istri...
Bagi pengguna layanan fintech, kenyamanan yang didapatkan saat melakukan transaksi investasi online sangat penting. Aspek user experience sangat perlu diperhatikan. Bagaimana ALAMI memberikan kenyamanan transaksi investasi syariah online untuk penggunanya?...