Serial Sang Pemikir Ekonomi Syariah Bagian 2 Imam Al-Ghazali

Serial Sang Pemikir Ekonomi Syariah Dunia – Bagian 2: Imam al-Ghazali

Imam al-Ghazali menulis karya monumental Ihya’ Ulumuddin yang memberikannya gelar sebagai Hujjatul Islam, pemberi argumen untuk Islam. Di dalam karyanya yang berfokus pada penyucian jiwa dan ilmu tasawuf tersebut, dan juga di dalam beberapa karyanya yang lain, ia mengungkap pemikirannya tentang ekonomi syariah.

Imam al-Ghazali adalah seorang ulama besar Islam dan tokoh sufi. Lahir dengan nama lengkap Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i, ia biasa dikenal sebagai Abu Hamid al-Ghazali (Hamid adalah nama salah satu putranya) atau secara singkat dipanggil Al-Ghazali karena keahlian dan pekerjaan kakek dan ayahnya, yaitu menenun.

Al-Ghazali sejak kecil harus ditinggalkan oleh ayahnya, namun sejak menjelang wafatnya ia sudah menitipkan wasiat agar Al-Ghazali dan saudaranya dididik dan belajar dari berbagai guru yang sangat mumpuni, mulai dari seorang ahli sufi yang soleh dan alim ketika masa kecilnya dan kemudian berpindah ke seorang ulama fiqih.

Di masa dewasanya, Al-Ghazali mengelana ke berbagai negeri, seperti Mesir, Mekkah, dan Madinah, untuk belajar dari berbagai ulama dan menjalani kehidupan sederhana demi mencari ilmu. Ia hidup di zaman ketika pemerintahan dinasti Abbasiyah mencapai puncak keemasannya.

Sepanjang hidupnya yang singkat (ia diperkirakan lahir pada tahun 1058 Masehi dan wafat pada tahun 1111 Masehi, usianya diperkirakan hanya sampai 55 tahun), ia memberikan kontribusi yang sangat besar untuk dunia Islam: bukunya yang berjudul IhyaUlumuddin (The Revival of Religious Sciences) telah mencetak ulama yang tak terbilang jumlahnya di seluruh dunia. Inilah buku yang kerap kali membuka pikiran pembacanya, dan menginspirasi percikan tekad seseorang untuk menyelami kedalaman ilmu agama Islam. Ia menulis buku Ihya’ Ulumuddin di sebuah rumah persinggahan di belakang Mesjid Al-Aqsa, Yerusalem, ketika berhenti sejenak usai pengembaraannya mencari ilmu.

Rumah persinggahan di belakang Mesjid Al-Aqsa, tempat Imam Al-Ghazali menulis karya monumentalnya.
(Sumber: Republika)

Buku ini dikritik dalam berbagai kesempatan oleh ulama lainnya karena ada beberapa hadits-hadits yang kurang kuat dalilnya dan tidak diketahui asal-usul sanadnya. Imam Ibnul Jauzi, seorang ulama yang juga merupakan pakar hadis, kemudian merevisinya dan menyusun ulang hadis-hadis tersebut, dan merilis kitab Minhajul Qasidin dan ikhtisarnya (Mukhtasar Minhajul Qasidin) sebagai pengembangan dari kitab Ihya’ Ulumuddin.

Selain masterpiece tersebut, Imam al-Ghazali juga telah meninggalkan warisan intelektual lainnya melalui kitab-kitabnya yang lain yang membahas topik filsafat, tasawuf, dan logika, diantaranya The Alchemy of Happiness dan The Standard Measure of Knowledge.

Tidak heran jika Imam al-Ghazali dinobatkan oleh ulama dengan gelar sebagai Hujjatul Islam. Ustadz Wildan Jauhari menulis dalam bukunya “Hujjatul Islam Al-Imam Al-Ghazali” bahwa beliau mendapatkan gelar tersebut karena jasanya yang amat besar dalam memberikan argumen (= hujjah) untuk Islam, baik lewat dalilaql (akal pikiran atau logika) maupun lewat dalil naql (wahyu). Beliau menyusun keduanya berdampingan dengan rapi dan saling menguatkan, hingga mengalahkan argumen banyak kalangan, termasuk argumen para filsuf sekuler zamannya yang anti-Tuhan.

Sang Pemikir #2: Imam al-Ghazali & Pandangannya Tentang Ekonomi Syariah

Pandangannya tentang ekonomi syariah pun tercurahkan di dalam buku Ihya’ Ulumuddin. Imam al-Ghazali adalah salah satu pencetus konsep maqashid syariah, yaitu tentang bagaimana syariah memelihara agama, hidup atau jiwa, keluarga atau keturunan, harta atau kekayaan, dan intelektual atau akal. Kesejahteraan masyarakat bergantung dari usaha pencarian dan pemeliharaan mereka kepada lima hal tersebut, untuk mencapai kebaikan dunia dan akhirat.

Menurutnya, kegiatan ekonomi adalah kebajikan yang dianjurkan dalam Islam. Aktivitas ekonomi adalah bagian dari pemenuhan tugas keagamaan seseorang. Kerja adalah bagian dari ibadah seseorang. Tujuan aktivitas ekonomi dalam Islam sebaiknya adalah untuk mencukupi kebutuhan hidup, menyejahterakan keluarga, dan membantu orang lain yang membutuhkan.

Beliau juga menegaskan bahwa uang merupakan karunia Allah yang memudahkan kegiatan perekonomian manusia, karena berperan sebagai ukuran nilai suatu barang, satuan hitung dan alat tukar. Perekonomian barter akan memerlukan usaha yang lebih keras karena manusia harus mencari seseorang yang mempunyai keinginan yang sesuai, dan kesulitan dalam menentukan harga ketika terjadi keragaman barang dagangan, pertambahan produksi, dan perbedaan kebutuhan. Namun menurutnya, zat uang itu sendiri tidak dapat memberi manfaat, dan uang bukanlah alat penyimpan kekayaan. Uang hanya akan memiliki nilai jika digunakan dalam pertukaran. Ia melihat emas dan perak bisa digunakan sebagai uang, yang berfungsi sebagai nilai tukar. Ia juga sangat membenci perbuatan menimbun kepingan uang.

Al-Ghazali menilai pasar sebagai tempat bertemunya penjual dan pembeli, di mana harga dan laba ditentukan berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran. Di pasar, setiap perdagangan harus menggunakan cara yang terhormat. Para pedagang berpotensi untuk dibangkitkan seperti para pelaku dosa besar di hari kiamat, kecuali yang bertakwa kepada Allah, berbuat kebajikan dan jujur. Satu hal yang paling dibenci oleh Al-Ghazali di pasar adalah penimbunan barang, yang dianggapnya merupakan tindakan kriminal terhadap norma moral dan sosial, karena hal tersebut merupakan jalan pintas untuk memakan harta orang lain dengan cara bathil.

Karena Al-Ghazali menilai kegiatan ekonomi sebagai bagian dari pemenuhan kewajiban keagamaan dan ibadah seseorang, maka beliau pun menilai kegiatan ekonomi yang dijalankan harus merupakan bagian dari kegiatan produksi yang memenuhi kebutuhan masyarakat luas, yaitu produksi barang-barang kebutuhan dasar sebagai kewajiban sosial, dan produksi industri dasar, aktivitas penyokongnya, dan aktivitas komplementer. Manusia ketika menjalani kegiatan ekonominya di pasar harus menjaga agar tidak jatuh kepada jenis persaingan yang tidak disukai, dan hanya menjalankan persaingan yang wajib atau persaingan yang disukai.

Sementara riba dinilainya sama dengan penimbunan barang untuk kepentingan individual dalam hal keduanya merupakan bentuk penyalahgunaan fungsi uang yang berbahaya. Ia menyebut konsep riba fadl dan hukum keharamannya, yaitu kelebihan jumlah komoditas yang terjadi dalam suatu pertukaran, yang timbul karena adanya jumlah yang berbeda, waktu yang berbeda, atau adanya permintaan penambahan jumlah komoditi karena adanya waktu yang ditentukan yang dilanggar.

Al-Ghazali menekankan bahwa negara juga perlu mengambil tindakan untuk menegakkan kondisi kemajuan ekonomi melalui keadilan, kedamaian dan stabilitas, baik secara internal dan eksternal. Al-Ghazali sangat mendukung adanya alhisabah, sebuah badan pengawas yang dipakai negeri Islam pada saat itu dan berfungsi mengawasi praktik pasar yang merugikan.

Al-Ghazali menjelaskan bahwa negara mempunyai kepentingan untuk menegakkan Islamisasi ekonomi, dan mengatur agar Islamisasi ini terjadi juga di bidang-bidang kehidupan lainnya, agar ekonomi syariah bisa terwujud secara optimal, efektif, dan komprehensif. Disiplin ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia untuk mengalokasikan sumber daya alam secara efisien. Hubungan antara Islam dan ekonomi adalah mengatur ekonomi dengan mengaplikasikan ajaran Al-Quran tentang mengatur perekonomian. Ilmu ekonomi Islam membahas ilmu ekonomi murni dan fiqih muamalah. Dengan demikian, ekonomi bagi umat Islam adalah salah satu bagian sistem ideologi dan etika Islam.

Referensi:

Kompasiana

Forshei (Forum Studi Hukum Ekonomi Islam – UIN Walisongo Semarang

Republika

Sumber foto:

RF Studios dan Ricardo Esquivel on Pexels

Serial Sang Pemikir Ekonomi Syariah Dunia

Kajian ekonomi syariah sudah bukan menjadi kajian yang asing dan baru, atau terpisah dengan semangat keagamaan di dunia Islam. Sejarah mencatat bahwa selalu ada ulama di tiap zaman yang membawa pemikiran yang mendalam tentang konsep ekonomi syariah dan implementasinya.

Lewat Serial #SangPemikir, ALAMI akan menghadirkan kisah para sang ekonom Muslim di zaman awal, yang membawa pemikiran-pemikiran segar tentang memaknai hukum Allah di ranah ekonomi dan keuangan.

Semoga dengan sajian artikel ini, kita jadi lebih paham bahwa ekonomi syariah sebenarnya sudah berkembang dari zaman ke zaman, and we are standing on the shoulders of giants!

Lihat Bagian 1: Al-Syaikh Muhammad Abduh di sini

Platform peer-to-peer financing syariah ALAMI mempertemukan UKM dengan pendana. Teknologi kami menganalisa ratusan data untuk menghasilkan pembiayaan yang memiliki kualitas dan kredibilitas yang baik. Daftar sekarang untuk menjadi pendana ALAMI dan nikmati kemudahan proses pembiayaan syariah yang lebih efisien, akurat dan transparan.

Artikel Terbaru

Informasi Peningkatan Keamanan Pendanaan & Penambahan Biaya Layanan

Sebagai bagian dari upaya kami dalam meningkatkan kualitas layanan yang lebih baik,...

Panduan Praktis Mendanai Nyaman dan Menguntungkan di Instrumen P2P Lending Bagi Pendana Pemula

Peer to Peer Lending (P2P Lending) dikenal sebagai salah satu instrumen investasi...

Sejarah Dana Pensiun di Indonesia

Sejarah dana pensiun di Indonesia melalui proses yang panjang dan senantiasa berkembang. ...

Exit mobile version