Ibnu Taimiyah - Serial Sang Pemikir Ekonomi Syariah Bagian 3
published 23/09/2020 - 4 Min Read

Ibnu Taimiyah – Serial Sang Pemikir Ekonomi Syariah Dunia (Bagian 3)

Ibnu Taimiyah berangkat dari latar belakang sebagai generasi penerus keluarga ulama. Kakeknya, ayahnya, dan pamannya adalah ulama-ulama guru besar dalam madzhab Hanafi yang produktif menuliskan buku dan pemikiran mereka. Ibnu Taimiyah menggantikan peran ayahnya di usia 19 tahun. Tumbuh di keluarga ulama, Ibnu Taimiyah sudah dipersiapkan untuk menjalani peran tersebut sejak usia muda. Ia belajar di bawah 200 ulama terkemuka di dunia Islam saat itu, yang mengajarinya tafsir, hadis, fiqih, matematika dan filsafat, dan membuatnya siap menjadi guru besar madzhab Hanafi di usia belasan tahun. Ia kemudian meneruskan jejak keluarga dengan menulis ratusan buku dalam bidang-bidang yang dikuasainya.

Ibnu Taimiyah adalah salah satu ulama besar yang paling dikenal dengan gelar Syaikhul Islam (syaikh artinya sosok yang dihormati, syaikhul Islam: sosok yang dihormati di dalam Islam). Artinya, orang yang menjadi panutan dan rujukan bagi kaum Muslim karena ilmu dan hikmahnya.

Di masa Daulah Utsmaniyyah, penguasa yang mengambil alih kekuasaan dari Bani Mamluk di akhir zaman hidup Ibnu Taimiyah, gelar ini diberikan kepada semua mufti resmi negara.  Kini, Ibnu Taimiyah bukan hanya menjadi imam atau guru besar madzhab Hanafi, tapi bagi seluruh umat Islam di semua madzhab. Gelar tersebut diberikan oleh ulama lainnya kepada Ibnu Taimiyah sebagai penghormatan dan penghargaan atas karyanya dan perjuangannya dalam mengkaji dan memaparkan kebenaran Islam.

Sang Pemikir #2: Ibnu Taimiyah & Pandangannya Tentang Ekonomi Syariah

Ibnu Taimiyah dan pandangannya tentang ekonomi syariah
Kenaikan dan penurunan harga di pasar bebas adalah kondisi natural yang ditentukan banyak faktor.

Ibnu Taimiyah lahir di tahun 1263, di abad ke-13 Masehi. Jauh sebelum Adam Smith, yang lahir di tahun 1723, di abad ke-18 Masehi mengutarakan pemikiran tentang konsep pasar bebas dan the invisible hand, Ibnu Taimiyah sudah membahas tentang mekanisme pasar.

Di zaman beliau, banyak yang berpendapat bahwa naiknya harga barang disebabkan oleh kezaliman para pedagang, yang mendorong terciptanya ketidaksempurnaan pasar. Namun, beliau sendiri membantah hal tersebut.

Menurut Ibnu Taimiyah, hal tersebut tidaklah benar, karena ada banyak hal yang mempengaruhi harga di pasar. Beliau sangat meyakini bahwa permintaan dan penawaran sangat mempengaruhi harga. Semakin tinggi permintaan dan semakin sedikit penawaran, maka harga akan naik. Sementara semakin banyak penawaran dan semakin kecil permintaan, akan menyebabkan turunnya harga.

Selain itu, harga juga dipengaruhi oleh kuatnya permintaan. Semakin besar kebutuhan orang akan barang tersebut, harga akan naik lebih tinggi daripada ketika kebutuhannya tidak terlalu mendesak.

Ia juga menyebut bahwa biaya produksi juga akan sangat mempengaruhi harga di pasar.

Tambahan, ia juga menyebutkan bahwa harga barang yang belum ada di pasar akan lebih tinggi daripada harga barang yang sudah tersedia di pasar.

Berikut adalah kutipan terjemahan dari kitab yang berjudul Majmu alFatawa Syaikh alIslam, kitab kumpulan fatwa yang pernah diputuskan oleh Ibnu Taimiyah:  

Naik turunnya harga tidak selalu disebabkan pada kezhaliman sebagian orang. Kadang-kadang sebabnya adalah kekurangan dalam produksi atau penurunan impor dari barang-barang yang dibutuhkan. Maka apabila kebutuhan meningkat terhadap barang, dan menurunnya kemampuan menyediakannya, harga dengan sendirinya akan naik, jika kemampuan penyediaan barang meningkat dan permintaan menurun, harga akan turun. Sedikit dan banyaknya barang tidak mesti diakibatkan oleh perbuatan seseorang. Bisa saja berkaitan dengan sebab yang tidak melibatkan ketidakadilan. Atau sesekali bisa juga disebabkan oleh ketidakadilan. Maha Besar Allah, yang menciptakan kemauan pada hati manusia.

Ia juga menegaskan bahwa berubahnya harga adalah sesuatu yang alamiah (natural), kondisi yang impersonal.

Apabila orang-orang menjual barang dagangannya dengan cara yang dapat diterima secara umum tanpa disertai dengan kezaliman dan harga-harga mengalami kenaikan sebagai konsekuensi dari penurunan jumlah barang (qillah al-syai), atau peningkatan jumlah penduduk (katsrah al-khalq), hal ini disebabkan oleh Allah SWT.

Pemikiran beliau tidak hanya terbatas kepada mekanisme pasar. Beliau juga menjelaskan tentang peranan yang seharusnya dimainkan oleh Pemerintah di dalam mengatur ekonomi. Secara tegas, beliau menyatakan pendapat bahwa kolusi harga oleh pembeli dan penjual tidak disukai di dalam Islam, dan beliau juga menyatakan wajib bagi Pemerintah untuk memberantas monopoli pasar jika hal tersebut terindikasi terjadi di dalam wilayah kekuasaan mereka. Lebih jauh, ia juga mewanti-wanti agar jangan sampai orang bisa membeli dan menjual barang di bawah harga pasar.

Namun, ia sangat anti terhadap intervensi harga dari Pemerintah. Ia tidak mau Pemerintah membatasi harga yang bisa dipatok oleh pasar. Jika memang harganya tinggi, maka Pemerintah tidak berhak untuk melarang penjual berjualan dengan harga tersebut. Keterlibatan Pemerintah dalam hal tersebut, dianggap Ibnu Taimiyah sebagai bentuk kezaliman terhadap pedagang dan hanya akan memperkeruh keadaan pasar.

Ia berpegang kepada hadis Rasulullah SAW ketika beliau menolak mematok harga, walaupun harga bahan pokok sedang tinggi-tingginya.

Sesungguhnya, hanya Allah yang menetapkan harga, Dia yang menahan, Dia yang menghamparkan dan Dia yang memberi rizki. Sesungguhnya aku berharap dapat menemui Allah (di akhirat) tanpa seorang pun menuntut balasan kezaliman yang aku lakukan terhadap jiwa dan hartanya (karena menzalimi pedagang dengan menetapkan harga yang tentunya mengurangi untuk mereka)”.

(HR. Ibn Majah)

Referensi:

Konsultasi Syariah

Forum Studi Hukum Ekonomi Islam, UIN Walisongo Semarang

Al Falah, Journal of Islamic Economics, Vol. 3, No. 1, 2018, Research Gate

Serial Sang Pemikir

Sejarah Islam mencatat khazanah ilmu yang begitu kaya, termasuk juga dalam pemikiran ekonomi syariah. Sejak zaman turunnya wahyu, zaman sahabat Nabi dan generasi selanjutnya, kemudian tahun 798 Masehi dan seterusnya, para ilmuwan Muslim sudah hadir membawa kontribusi intelektual untuk pengembangan sistem ekonomi yang bersandar kepada syariat agama.

Lewat Serial #SangPemikir, ALAMI akan menghadirkan kisah para sang ekonom Muslim di zaman awal, yang membawa pemikiran-pemikiran segar tentang memaknai hukum Allah di ranah ekonomi dan keuangan.

Semoga dengan sajian artikel ini, kita jadi lebih paham bahwa ekonomi syariah sebenarnya sudah berkembang dari zaman ke zaman, and we are standing on the shoulders of giants!

Kajian ekonomi syariah sudah bukan menjadi kajian yang asing dan baru, atau terpisah dengan semangat keagamaan di dunia Islam. Sejarah mencatat bahwa selalu ada ulama di tiap zaman yang membawa pemikiran yang mendalam tentang konsep ekonomi syariah dan implementasinya.

Lihat Bagian 1: Al-Syaikh Muhammad Abduh di sini

Lihat Bagian 2: Imam al-Ghazali di sini

Bayu Suryo Wiranto

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments